PASURUAN, RadarBangsa.co.id – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pasuruan memastikan akan mengawal aspirasi warga tiga kelurahan di Kecamatan Prigen yang menolak rencana pembangunan kawasan real estate milik PT Stasionkota Sarana Permai (SSP). Proyek yang berlokasi di lereng Gunung Arjuno-Welirang itu dikhawatirkan dapat mengancam kelestarian lingkungan dan sumber air di sekitar wilayah tersebut.
Ketua DPRD Pasuruan, Samsul Hidayat, menegaskan lembaganya akan menindaklanjuti persoalan ini dengan serius. “Akan kami kawal aspirasi warga. DPRD memastikan tidak ada kebijakan yang merugikan masyarakat maupun lingkungan,” ujarnya saat audiensi dengan warga di Gedung DPRD.
Menurut Samsul, DPRD juga akan melakukan pengecekan langsung ke lokasi bersama komisi terkait. Ia menilai, pembangunan di kawasan konservasi harus berlandaskan asas kehati-hatian serta tidak bertentangan dengan kepentingan ekologis.
“Isu ini sudah lama bergulir dan pernah dibahas pada periode sebelumnya. Kami akan pastikan tidak ada pelanggaran tata ruang atau izin lingkungan yang merugikan hajat hidup orang banyak,” tegas politisi PKB itu.
Samsul juga mengingatkan agar pemerintah daerah tidak terburu-buru mengeluarkan rekomendasi teknis sebelum ada kajian ulang yang melibatkan akademisi, instansi terkait, dan masyarakat setempat. “Pemerintah harus hati-hati agar tidak menimbulkan konflik baru,” tambahnya.
Penolakan warga dari Kelurahan Pencalukan, Ledug, dan Prigen ini bermula dari rencana pembangunan real estate seluas 22,5 hektar oleh PT SSP. Warga menilai proyek tersebut berpotensi merusak ekosistem lereng Arjuno-Welirang yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan penahan erosi.
Wakil Ketua Aliansi Masyarakat Peduli Hutan (AMPH), Hadi Sucipto, mengungkapkan bahwa lokasi pembangunan berada di atas permukiman warga dan termasuk zona rawan erosi. “Jika kawasan ini dibuka, risikonya bukan hanya longsor dan banjir, tetapi juga berkurangnya debit mata air yang menjadi sumber utama warga Ledug, Pencalukan, dan Dayurejo,” ujarnya.
Hadi menambahkan, lahan tersebut sebelumnya dikuasai PT Kusuma Raya Utama (KRU) pada 2011, namun izin pembukaan lahannya ditolak karena tidak memenuhi syarat lingkungan. “Sekarang muncul nama baru, PT SSP, yang sudah mengantongi SHGB dan PKKPR. Kami menduga ada perubahan tata ruang yang tak sesuai peruntukan awal,” katanya.
Sementara itu, perwakilan Perhutani, Yayik, menjelaskan bahwa sejak 1984 lahan tersebut sudah menjadi bagian dari mekanisme tukar-menukar (land swap) antara PT KRU dan pemerintah. “Secara administratif memang sudah clear sejak 2000, tetapi pemanfaatannya tetap harus menyesuaikan kondisi kawasan yang kini padat dan memiliki jalur air,” jelasnya.
Melalui dukungan DPRD, warga berharap aspirasi mereka tidak sekadar didengar, tetapi juga diakomodasi dalam kebijakan pemerintah.
“Kami hanya ingin alam dan kehidupan kami tetap aman. Kami bukan anti pembangunan,” ujar salah satu warga.
Penulis : Zaqy
Editor : Zainul Arifin