LAMONGAN, RadarBangsa.co.id – Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Lamongan turun ke jalan dalam aksi solidaritas yang digelar di perempatan DPRD dan Polres Lamongan, Minggu (31/8/2025). Mereka menuntut pertanggungjawaban atas dugaan tindakan represif aparat kepolisian yang menelan korban jiwa dan luka di Medan serta Depok.
Ketua umum aksi, Alexi Candra Putra, menyebut negara sedang mengalami krisis kepercayaan. Ia menyoroti keputusan DPR yang menaikkan tunjangan di tengah kesulitan ekonomi rakyat.
“Negara yang kita cintai sedang sakit. Rakyat kecil harus turun ke jalan karena kecewa dengan keputusan DPR. Ironisnya, aksi damai justru ditanggapi dengan kekerasan,” kata Alexi.
Alexi menegaskan bahwa kekerasan aparat telah melanggar aturan internal kepolisian.
“Tindakan aparat ini melanggar Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 tentang tata cara penyampaian pendapat di muka umum. Ini jelas penyalahgunaan kewenangan,” tegasnya.
Sementara itu, Achmad Aldi Ansya Firdaus, koordinator lapangan aksi, menilai kekerasan terhadap sipil tidak bisa ditoleransi. Menurutnya, cara represif justru memperlebar jarak antara rakyat dan aparat.
“Kekerasan terhadap warga sipil tidak bisa ditoleransi. Itu hanya memperdalam luka masyarakat,” ucap Aldi.
Ia juga menyinggung jatuhnya korban di berbagai daerah.
“Bahkan ada kader IMM di Medan dan Depok yang menjadi korban luka-luka dan penahanan tanpa dasar hukum. Ini bukti aparat gagal menjunjung prinsip profesionalisme,” tambahnya.
Dalam aksi itu, PC IMM Lamongan menyampaikan empat tuntutan. Pertama, mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mundur karena dianggap gagal memimpin.
“Kami menuntut Kapolri untuk mundur. Beliau tidak becus memimpin dan membiarkan praktik represif terus berulang,” ujar Alexi.
Tuntutan kedua, mencopot dan mengadili seluruh aparat yang terlibat kekerasan.
“Segera copot dan adili seadil-adilnya oknum aparat. Jangan ada lagi yang ditutupi,” lanjut Aldi.
Ketiga, mendorong revolusi di tubuh Polri.
“Polri harus dibersihkan dari budaya represif. Hapus impunitas dan kembalikan mandat polisi sebagai pelindung rakyat,” tegas Alexi.
Keempat, menyatakan mosi tidak percaya terhadap pemerintah dan DPR.
“Kami sudah kehilangan kepercayaan pada pemerintah dan DPR yang lebih mementingkan kepentingan elit ketimbang rakyat,” kata Aldi.
Menutup aksinya, PC IMM Lamongan mengutip penyair Wiji Thukul sebagai bentuk ajakan moral.
“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, maka hanya ada satu kata: lawan!” seru para mahasiswa secara bergantian.
Aksi ini menambah sorotan publik terhadap aparat keamanan. Kasus Medan dan Depok kini menjadi simbol kegagalan negara menjamin kebebasan berekspresi yang seharusnya dilindungi konstitusi.
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin