SURABAYA, RadarBangsa.co.id – Di tengah semangat pemerintah pusat mendorong percepatan kepemilikan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), pelaksanaan kebijakan pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) melalui SKB Tiga Menteri justru berjalan lambat di sejumlah daerah di Jawa Timur. Hal ini menjadi sorotan tajam dari Senator DPD RI asal Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama, yang menilai bahwa kepatuhan pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakan nasional sangat menentukan kepercayaan publik.
Kritik keras ini mencuat setelah Ketua Umum DPD Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Jawa Timur, H. Makhrus Sholeh, mengungkapkan bahwa hingga pertengahan 2025, hanya empat kabupaten/kota di Jawa Timur yang sudah menjalankan SKB 3 Menteri. Padahal, kebijakan ini merupakan bagian dari Program Sejuta Rumah yang ditargetkan Presiden Prabowo untuk menjangkau jutaan warga MBR secara nasional.
“Program tiga juta rumah untuk MBR itu besar dan strategis, tapi realisasinya di Jawa Timur masih sangat minim. Ini bukan sekadar angka, tapi soal komitmen daerah menjalankan keputusan bersama,” ujar Makhrus kepada RadarBangsa, sembari mengungkapkan bahwa sejak diumumkan, belum ada progres berarti.
Menanggapi hal tersebut, Dr. Lia Istifhama menekankan pentingnya konsistensi pelaksanaan kebijakan nasional di daerah. Menurutnya, pemerintah daerah tidak boleh setengah hati dalam menerapkan aturan yang bertujuan menyejahterakan masyarakat kecil.
“Saya sering mengingatkan pentingnya otonomi daerah yang berkeadilan. Ketika pusat sudah mengeluarkan kebijakan strategis, daerah harus bisa menerjemahkannya secara utuh. Kalau tidak, masyarakat akan bingung, dan pada akhirnya kepercayaan terhadap negara yang jadi taruhannya,” ujar Lia kepada media , sesaat setelah tiba di Tanah Air dari lawatannya ke Finlandia dan Rumania.
Senator yang juga dikenal sebagai aktivis sosial ini mengatakan, dirinya memahami langsung betapa pentingnya kabar seperti pembebasan BPHTB bagi masyarakat kecil. “Saya pernah berada di posisi mereka. Ketika ada angin segar seperti pembebasan BPHTB, itu bisa sangat berarti. Jadi jangan digantung di tataran kebijakan saja. Harus ada tindakan nyata,” ungkapnya.
Lia pun menggarisbawahi ketimpangan fiskal sebagai salah satu faktor yang membuat pelaksanaan kebijakan ini tidak seragam di daerah. Ia menyayangkan jika daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal besar justru belum bergerak cepat.
“Kalau PAD daerahnya besar, ya jangan ditunda. Jalankan saja SKB 3 Menteri itu. Dengan begitu, rakyat bisa melihat bahwa pemerintah benar-benar berpihak pada kebutuhan mereka,” tegas Lia.
Namun, ia juga menyadari bahwa tidak semua daerah memiliki kekuatan fiskal yang sama. Untuk itu, ia menilai pentingnya peran pemerintah pusat untuk tidak hanya membuat regulasi, tetapi juga memberikan dukungan konkret bagi daerah yang kesulitan.
“Kalau daerahnya PAD-nya kecil, jangan dipaksa. Di sinilah sinergi pusat dan daerah diuji. Pusat harus hadir memberi solusi, jangan hanya mengeluarkan perintah tapi lepas tangan,” imbuhnya.
Menurut Lia, makna dari otonomi daerah bukan hanya soal kewenangan, tapi juga perlakuan yang adil dan dukungan nyata sesuai kapasitas masing-masing daerah. SKB 3 Menteri tentang pembebasan BPHTB dan retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) bagi rumah MBR, kata dia, harus dipahami bukan hanya sebagai instrumen hukum, melainkan sebagai refleksi kehadiran negara dalam memperjuangkan keadilan.
“Ini bukan hanya soal dokumen. Ini soal bagaimana negara hadir di tengah masyarakat, dengan akal sehat dan nurani. Jangan sampai kebijakan besar seperti ini justru berhenti di meja rapat dan pidato seremoni,” ujar Lia, penuh penekanan.
Pernyataan tersebut menjadi pengingat keras bagi kepala daerah di Jawa Timur agar tidak mengabaikan tanggung jawab dalam mendukung program strategis nasional di sektor perumahan. Bagi Lia, pelaksanaan SKB 3 Menteri adalah salah satu ukuran sejauh mana prinsip keadilan dan fungsi otonomi benar-benar dijalankan, bukan hanya di atas kertas.
Sebagai informasi, SKB Tiga Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri ATR/BPN, dan Menteri PUPR—mengatur pembebasan BPHTB dan retribusi PBG untuk rumah subsidi yang diperuntukkan bagi MBR. Kebijakan ini dirancang untuk menurunkan harga rumah subsidi, mempercepat proses izin bangunan maksimal 10 hari, dan mendukung pemerataan akses kepemilikan rumah di seluruh Indonesia.
CNBC Indonesia mencatat, beban pembeli rumah subsidi dapat berkurang hingga Rp10,57 juta per unit dengan adanya kebijakan ini. Namun, jika daerah masih enggan menerapkannya, harapan untuk meringankan beban hidup MBR akan semakin jauh dari kenyataan.
“Yang paling rugi tentu masyarakat kecil. Maka para pemimpin daerah harus menempatkan hati mereka di tengah-tengah rakyat yang menanti kepastian,” pungkas Lia.
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin