Mengolah Limbah Plastik

Opini : Billy ariez, 23 November 19

Plastik merupakan salah satu bahan yang banyak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Baik untuk kebutuhan rumah tangga, ataupun untuk produksi barang-barang lainnya. Penggunaan bahan plastik semakin hari semakin mengkhawatirkan bagi kerusakan lingkungan.

Bacaan Lainnya

Sejak Tiongkok menutup pintu terhadap sampah plastik impor, Asia Tenggara menjadi daerah tujuan baru ekspor sampah plastik untuk negara maju. Pada tahun 2018, volume sampah plastik yang dikirim ke Indonesia meningkat dua kali lipat menjadi 320.000 ton dibandingkan tahun 2017. Menurut data UN Comtrade, Lima negara besar top eksporter sampah plastik ke Indonesia pada tahun 2018 adalah Australia, Jerman, Marshall Islands, Belanda, dan AS.

Indonesia setiap tahun menghasilkan timbulan sampah 9 juta ton sampah plastik atau sekitar 15% dari timbulan sampah nasional. Laporan Bank Dunia mencatat bahwa secara virtual tidak ada upaya penegakan hukum dalam pengelolaan sampah di Indonesia dan daur-ulang secara umum dilakukan oleh sektor informal (15% dari total sampah) sementara itu sistem daur ulang formal hanya menyerap 5% dari total timbulan sampah.

Minimnya pengelolaan sampah menyebabkan sampah plastik berakhir di sungai-sungai dan mewakili secara signifikan proporsi dari puing-puing yang diangkat dari sungai, badan-badan air di semua kota yang jumlahnya mencapai antara 20% sampai 38% dari total sampah.

Selama periodeApril-September 2019, KLHK telah memeriksa total 882 kontainer berisi skrip plastik dan skarp kertas. Dari 882 kontainer itu, sebanyak 428 kontainer ditemukan skarp plastik tercampur sampah atau limba B3 sehingga harus di reekspor.

Sembilan perusahaan produksi dan daur ulang kertas di Jawa Timur menggunakan 4 juta ton kertas skrap per tahun sebagai bahan baku untuk membuat lembaran kertas baru untuk majalah, surat kabar, dll. Sekitar 63% dari kertas skrap yang digunakan berasal dari sumber lokal dan sekitar 37% diimpor (1,5 juta ton).

Sebelumnya, bahan baku kertas yang diimpor mengandung ~2% – 10% plastik skrap. Namun demikian, tiga tahun terakhir, porsi skrap plastik dalam bal kertas yang diimpor meningkat tajam sampai 60% -70%, menunjukkan bahwa skrap kertas banyak digunakan sebagai pintu masuk untuk membuang sampah plastik.Bahan-bahan ini sebagian besar diimpor terutama dari Australia, Kanada,

Irlandia, Italia, Selandia Baru, Inggris Raya, dan AS. Sampah plastik yang tidak diinginkan lalu dibeli oleh para broker, pedaur ulang kecil, atau ‘disumbangkan’ kepada komunitas sebagai bagian dari program pengembangan komunitas dari pabrik kertas.

Tempat-tempat tujuan akhir dari plastik berkualitas rendah adalah tempat penimbunan terbuka (open dumps), atau pabrik tahu dan pabrik kapur dimana masyarakat membakar plastik sebagai bahan bakar.

Desa Bangun dan Tropodo adalah desa- desa yang terdampak dan berlokasi di dekat pantik kertas. Mereka setiap hari menerima lebih dari 50 ton plastik berkualitas rendah.Di Tropodo, ada 50 pabrik tahu yang membakar sampah plastik sebagai bahan bakar dalam tungku-tungku mereka untuk menghasilkan uap. Di Desa Bangun, sampah plastik ditimbun setiap hari dan pembakaran terbuka dilakukan untuk mengurangi volume sampah plastik.

Menurut laporan What a Waste 2.0 dari Bank Dunia, timbulan sampah diperkirakan akan tumbuh sebesar 70% pada tahun 2050, sementara populasi global kita diperkirakan akan tumbuh kurang dari setengah dari laju itu. Kita memproduksi lebih banyak dan lebih banyak sampah per orang.

Kondisi peningkatan volume limbah ini sejalan dengan urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi yang cepat, pendorong utama peningkatan timbulan sampah. Inilah alasan mengapa mengelola kota secara berkelanjutan dan mengelola tumbukan sampah sangat urgen dilakukan.

Penelitian di dunia menunjukkan, bahwa pemerintah di negara-negara berpenghasilan rendah menghabiskan 20% dari anggaran kota mereka untuk pengelolaan limbah, 93% sampah yang tidak dapat dikelola dibuang atau dibakar secara terbuka.

Sebuah studi yang berfokus pada Asia Tenggara memperkirakan biaya ekonomi dari limbah rumah tangga yang tidak dikumpulkan yang dibakar, dibuang, atau dibuang ke saluran air, sebesar $ 375 per ton.

Untuk wilayah yang sama, kami memperkirakan bahwa biaya pengelolaan limbah terintegrasi untuk sistem dasar yang memenuhi standar higienis internasional yang baik adalah $ 50-100 per ton. Jadi, biaya ekonomi dari limbah yang tidak terkumpul bisa hampir lima kali lipat dari yang diperlukan untuk mengelola limbah dengan benar sejak awal.Memburuknya situasi limbah yang semakin meningkat, plastik khususnya, semakin memperparah krisis.

Pada tahun 2016 saja, dunia menghasilkan sekitar 240 juta ton limbah plastik. Semakin banyak, kita melihat bagaimana salah kelola global limbah menyebabkan plastik secara permanen mempengaruhi kesehatan lingkungan kita. Kesehatan lautan kita merosot dengan plastik yang berinteraksi dengan ekosistem, mengurangi oksigen, menciptakan gas rumah kaca, dan memiliki efek langsung dan mematikan pada satwa liar.

Kondisi yang sama kita lihat di daerah Tropodo Sidoarjo. Ayam buras mematuk makanan dari tanah dan debu-debu di sekitarnya, lalu mencerna sejumlah tanah dalam pencernaannya.

Hal ini menjadikan ayam sebagai sampel aktif dari keberadaan kimia-kimia dalam tanah. Sebagian besar zat kimiawi ini dikenal sebagai polutan organik yang persisten (persistent organic pollutants atau POPs) larut dalam lemak dan berakumulasi dalam telur, yang memiliki kandungan lipid signifikan.

Oleh karena itu, telur ayam yang bebas kandang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan mengukur pencemaran POPs. Kandungan kimiawi dapat mengungkapkan jalur pajanan lewat makanan, mulai dari sumber pencemar ke tanah, lalu ke telur.

Satu studi telah menemukan bahwa sebanyak 73% dari 233 ikan laut dalam dari Laut Atlantik Barat Laut telah mencerna partikel plastik, dan studi lain menemukan 80% spesies dalam air tawar, seperti anak sungai Amazon, memiliki mikro dan nano-plastik, yang diharapkan memiliki dampak negatif besar pada kesehatan dan produktivitas kita.

Belajar dari Jepang Kita mesti memutus hubungan pertumbuhan ekonomi dengan pembentukan limbah. Jepang menjadi contoh negara yang baik. Negara ini telah menunjukkan bahwa limbah dapat dikurangi dan dapat berjalan beriringan dengan pembangunan ekonomi. Rata-rata, negara berpenghasilan tinggi menghasilkan 1,6 kg / orang setiap hari hingga 4,5 kg / orang / hari.

Namun, warga Jepang menghasilkan hanya 0,95 kg setelah memuncak pada hampir 1,2 kg / orang / hari pada tahun 2000. Kota Kitakyushu Jepang dapat menjadi contoh paling cerdas dari pengurangan limbah, dengan hanya 0,42 kg yang dihasilkan per orang setiap hari. Itu hanya sekitar setengah dari rata-rata global 0,75 kg, dan kurang dari rata-rata regional 0,46 kg untuk Afrika Sub-Sahara – wilayah penghasil terendah per kapita (dan yang termiskin pada saat yang sama).

Bagaimana kota berpenghasilan tinggi Kitakyushu dapat benar-benar mengurangi limbahnya? Apa yang bisa kita pelajari dari mereka? Sebagai kota industri dengan polusi yang signifikan, Kitakyushu berusaha untuk menerapkan pendekatan yang ramah lingkungan daripada yang berfokus pada pembuangan.

Penggerak utama sistem pengelolaan limbah mereka yang efisien mencakup semua langkah dari titik awal hingga akhir: memilah sampah di sumbernya, membuat kompos secara luas di tingkat rumah tangga, mendaur ulang, dan melibatkan banyak warga.

Langkah-langkah ini dilengkapi dengan insentif keuangan untuk mengurangi limbah karena biaya pengguna limbah berbasis volume yang ditetapkan per rumah tangga. Setiap rumah tangga mendapatkan quota yang sama untuk volume limba yang boleh dibuat.

Seiring waktu, Kitakyushu bahkan membangun Kota Ramah Lingkungan untuk meningkatkan kesadaran lingkungan dan memulihkan bahan dari berbagai jenis limbah, termasuk mobil dan peralatan.

Pelajaran dari Kitakyushu dan Jepang relevan untuk seluruh dunia untuk upaya mengurangi dan mengelola limbah secara efektif. Kesadaran dan partisipasi warga membuat perbedaan di Kitakyushu.

Komitmen dari tingkat rumah tangga hingga pemerintah, dan penyelarasan insentif, memungkinkan transformasi sektor pengelolaan limbah, yang pada akhirnya meningkatkan lingkungan, ekonomi, dan kesehatan kota. Namun demikian, pembelian quota sampah untuk setiap rumah tangga dan perubahan budaya tidak semudah kedengarannya. Dibutuhkan waktu, komitmen, dan mengelola hubungan untuk membangun kepercayaan.

Kitakyushu dan kota-kota Jepang lainnya telah menunjukkan bahwa pemisahan antara timbulan sampah dan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan. Dan demi lingkungan kita, lautan dan kesehatan kita, itu harus dilakukan!   (JK)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *