DEPOK, RadarBangsa.co.id – Wacana mengembalikan Polri di bawah naungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menuai berbagai respons. Pakar hukum pidana Universitas Islam Lamongan, Ayu Dian Ningtias, SH, MH, menilai wacana tersebut bertentangan dengan prinsip ilmu hukum pidana, khususnya dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana (SPP).
Menurut Ayu, status dan eksistensi Polri dalam SPP sudah jelas, yakni sebagai bagian integral dari sistem tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Polri adalah institusi nasional yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Tugas utamanya adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat.
Pada awalnya, Polri merupakan bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Namun, perubahan signifikan terjadi setelah diberlakukannya Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002. Undang-undang ini memisahkan Polri dari ABRI, mencerminkan perubahan paradigma sistem ketatanegaraan yang menegaskan perbedaan peran antara TNI dan Polri.
“Pemikiran ini dilandasi prinsip bahwa TNI bertugas mempertahankan kedaulatan negara, sementara Polri fokus pada penegakan hukum dan keamanan domestik. Kedua institusi memiliki peran yang berbeda dan tak bisa disatukan lagi dalam satu naungan,” ungkap Ayu.
Secara internasional, peran Polri sebagai bagian dari sistem peradilan pidana juga diakui. Dalam laporan Kongres PBB ke-5 tahun 1975 tentang *The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders*, ditegaskan bahwa polisi adalah komponen integral dari sistem peradilan pidana global.
Dalam perspektif hukum pidana, Polri memiliki tanggung jawab besar dalam empat tahap kekuasaan kehakiman: penyidikan, penuntutan, pengadilan, dan pelaksanaan putusan pidana. Tahap-tahap ini membentuk suatu kesatuan yang integral dalam sistem peradilan pidana.
Pasal 1 butir 1 dan 4 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan kejelasan peran Polri sebagai penyidik dan penyelidik. Penyidik adalah pejabat Polri atau pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sementara itu, penyelidik adalah pejabat Polri yang diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan.
“Penegasan ini menunjukkan bahwa Polri dirancang untuk berfungsi secara mandiri dalam menegakkan hukum. Jika diintegrasikan kembali dengan TNI atau Kemendagri, akan terjadi tumpang tindih kewenangan yang berpotensi merusak sistem peradilan pidana,” jelas Ayu.
Jika Polri dikembalikan di bawah TNI atau Kemendagri, implikasi serius akan muncul, baik dalam tatanan hukum nasional maupun kepercayaan masyarakat. “Kemandirian Polri adalah elemen penting dalam menjaga keadilan dan penegakan hukum yang efektif. Mengubah struktur ini hanya akan melemahkan sistem hukum kita,” tegas Ayu.
Ia menambahkan bahwa sistem peradilan pidana modern menuntut institusi kepolisian yang independen untuk menjalankan tugasnya tanpa intervensi lembaga lain. “Kemandirian ini memastikan bahwa Polri dapat menjalankan tugasnya dengan profesional dan akuntabel,” tutupnya.