DENPASAR, RadarBangsa.co.id – Anak-anak yang tinggal di panti asuhan sering kali menghadapi tantangan emosional dan sosial akibat ketiadaan figur orang tua serta keterbatasan lingkungan. Kondisi ini berdampak pada rendahnya tingkat psychological well-being, seperti kesulitan mengelola emosi, kurang percaya diri, dan terbatasnya kemampuan menjalin relasi sosial.
Permasalahan ini juga ditemukan di Panti Asuhan Dharma Jati II, Denpasar, Bali, berdasarkan hasil survei internal yang menunjukkan bahwa lebih dari 50% anak-anak di panti tersebut berada pada kategori psychological well-being yang rendah. Kepala Panti, Drs. I Wayan Nika, M.Si., turut mengonfirmasi bahwa masih banyak anak yang kesulitan dalam mengelola emosi dan beradaptasi dengan lingkungan.
Menanggapi kondisi tersebut, tim PKM-PM Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) yang diketuai oleh Dewa Ayu Kartika Pratiwi, dengan anggota Ni Made Pradnya Paramita, Ni Putu Ayu Gayatri Dewi, Kadek Rosa Mariana Dewi, dan I Putu Mahardika Sutresna Putra, memberikan sebuah solusi berupa play therapy berbasis kearifan lokal Bali.
Terapi ini memadukan plalianan (permainan tradisional Bali) dengan gending rare (lagu anak-anak Bali) dari Bapak Made Taro yang merupakan maestro budaya Bali yang sangat berpengaruh di bidang permainan tradisional dan seni bercerita untuk anak-anak. Hal ini akan menciptakan suasana bermain yang menyenangkan sekaligus penuh makna.
Program ini dirancang secara khusus untuk meningkatkan enam dimensi psychological well-being, yaitu:
1. Self-acceptance (penerimaan diri),
2. Positive relations with others (hubungan positif dengan orang lain),
3. Autonomy (kemandirian),
4. Environmental mastery (penguasaan terhadap lingkungan),
5. Life purpose (tujuan hidup)
6. Personal growth (pertumbuhan pribadi).
Dalam implementasinya, kegiatan pelatihan dalam program ini mengacu pada four quadrants play therapy dimensions model yang terdiri atas empat jenis aktivitas bermain.
Model ini kemudian disinergikan dengan keenam dimensi psychological well-being tersebut sehingga anak-anak tidak hanya bermain, tetapi juga belajar mengenali dan mengelola emosi serta memperkuat keterampilan sosial mereka.
Program ini berlangsung selama empat bulan dan mencakup tahap pelatihan, pendampingan, hingga pertunjukan drama “Plalianan Bali” sebagai puncak kegiatan.
Untuk mendukung keberlanjutan program, tim juga membentuk komunitas Play Rangers yang terdiri atas pengurus panti asuhan sebagai kader pelaksana terapi ke depannya. Selain itu, disusun pula buku pedoman mitra sebagai panduan agar kegiatan dapat dilakukan secara mandiri.
Melalui bimbingan langsung dari dosen pendamping Prof. Dr. Anak Agung Gede Agung, M.Pd., kegiatan ini diharapkan menjadi langkah nyata dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis anak-anak panti sekaligus menjadi model intervensi berbasis budaya lokal yang dapat direplikasi di panti asuhan lainnya.
Penulis : DWI
Editor : Zainul Arifin