JAKARTA, RadarBangsa.co.id – Kasus kematian tragis seorang terapis berusia 14 tahun di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, menyita perhatian publik dan memantik desakan penegakan hukum dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama, yang menyatakan keprihatinan mendalam atas peristiwa tersebut dan menegaskan perlunya langkah hukum tegas terhadap pihak-pihak yang terlibat.
Menurut hasil penyelidikan Polres Metro Jakarta Selatan, korban berinisial RTA diketahui masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Korban disebut menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) milik kerabatnya untuk melamar pekerjaan di sebuah spa khusus dewasa di kawasan Pejaten. Diduga, RTA meninggal dunia setelah berusaha melarikan diri akibat tekanan dan ancaman denda hingga Rp50 juta apabila mengundurkan diri dari tempat kerja tersebut.
Menanggapi hal itu, Lia Istifhama yang akrab disapa Ning Lia mengungkapkan keprihatinan mendalam dan mengecam keras praktik yang mengarah pada eksploitasi anak di bawah umur. “Kami sangat menyesalkan kejadian di Delta Spa Pejaten. Fakta bahwa korban masih berusia 14 tahun dan diduga melarikan diri karena tekanan dan ancaman denda menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap hak anak dan nilai-nilai kemanusiaan,” ujarnya, Minggu (19/10/2025).
Lia mempertanyakan klaim pihak spa yang menyatakan tidak mengetahui usia sebenarnya korban. Menurutnya, alasan tersebut tidak masuk akal mengingat perbedaan fisik dan karakter anak usia 14 tahun dengan orang dewasa sangat jelas terlihat. “Mereka mengaku mengira korban berusia 24 tahun. Tapi bagaimana mungkin? Anak seusia 14 tahun, seberapa pun dewasa penampilannya, tetap menunjukkan ciri khas remaja. Ini membuat saya curiga, apakah ini benar-benar ketidaktahuan atau justru bentuk pembiaran demi kepentingan bisnis,” kata Lia dengan nada tegas.
Senator yang dikenal aktif memperjuangkan isu perlindungan perempuan dan anak itu juga menyoroti lemahnya perhatian publik terhadap kasus eksploitasi anak. Ia menilai, meskipun kasus ini sempat viral di awal Oktober, perhatian masyarakat kemudian meredup sebelum kembali mencuat di pertengahan bulan. “Ini seharusnya menjadi kasus nasional. Kenapa bisa sempat tenggelam? Padahal, kita sedang berbicara tentang pelanggaran berat terhadap anak dan pelanggaran hak asasi manusia yang nyata,” ujarnya.
Lebih lanjut, Lia menegaskan bahwa kasus RTA tidak hanya menyangkut eksploitasi anak, tetapi juga menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap pelanggaran ketenagakerjaan di sektor jasa. Ia menilai banyak tempat usaha serupa yang masih abai terhadap aturan hukum dan hak-hak pekerja. “Bukan hanya kasus di Pejaten. Banyak tempat usaha yang melakukan pelanggaran, mulai dari pemotongan gaji, penahanan sertifikat karyawan, hingga lembur tanpa upah. Ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum di sektor ketenagakerjaan,” ujarnya.
Putri ulama KH Maskur Hasyim itu menegaskan, jika terbukti ada unsur pelanggaran hukum dalam kasus RTA, maka aparat penegak hukum wajib menjatuhkan hukuman seberat-beratnya. “Kalau terbukti bersalah, hukum harus ditegakkan tanpa kompromi. Tidak boleh ada toleransi bagi pelaku eksploitasi anak. Ini pelanggaran hak asasi manusia yang tidak bisa ditawar,” tegas Lia.
Sebagai anggota DPD RI, Lia berharap pemerintah pusat dan daerah memperkuat regulasi serta pengawasan terhadap dunia usaha, terutama di sektor yang rawan eksploitasi tenaga kerja. Ia menilai kasus di Pejaten seharusnya menjadi momentum untuk memperketat perizinan dan meningkatkan tanggung jawab sosial perusahaan. “Kasus ini harus jadi pelajaran penting bagi semua pihak. Pemerintah wajib memperketat izin usaha, memperkuat perlindungan hukum bagi pekerja, dan memastikan anak-anak terlindungi dari jeratan pekerjaan yang tidak manusiawi,” pungkasnya.
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin