SURABAYA, RadarBangsa.co.id – Sosok Dr. Lia Istifhama, atau yang akrab dikenal Ning Lia, kian menyita perhatian publik. Bukan semata karena tampilannya yang karismatik atau statusnya sebagai senator perempuan dengan perolehan suara terbanyak kedua nasional untuk kategori non-petahana, tetapi karena pilihan jalan politiknya yang tak lazim: membumi, turun langsung, dan konsisten menyatu dengan denyut rakyat.
Alih-alih memilih politik yang seremonial dan elitis, Ning Lia mengusung pendekatan yang ia sebut sebagai politik “mudun ngisor” turun langsung menyapa warga, mendengarkan keluhan, dan memahami persoalan dari akarnya.
“Kalau kita mau dipercaya, kita harus hadir di tengah mereka. Bukan hanya ketika butuh suara,” ujar Ning Lia dalam satu kesempatan.
Gaya ini memperlihatkan karakter politik yang empatik, responsif, dan jauh dari kesan pencitraan. Setiap hari, Ning Lia mengunjungi dua hingga tiga titik di berbagai wilayah Jawa Timur. Ia tak segan duduk lesehan bersama pedagang kaki lima, blusukan ke pasar tradisional, hingga menyambangi pesantren kecil dan hajatan warga.
Kegiatan padat Ning Lia diakui oleh banyak orang terdekatnya. Angel Kurnawati, salah satu anggota tim, menyebut bahwa aktivitas Ning Lia nyaris tanpa jeda.
“Sehari bisa dua sampai tiga lokasi, dan itu lintas kota. Ning Lia benar-benar tidak kenal lelah. Ketemu warga, menyapa langsung, dan menghibur masyarakat. Beliau hadir bukan karena kamera, tapi karena panggilan hati,” ujar Angel.
Sementara itu, Nafi Alfian dari komunitas Sahabat Ning Lia menilai pendekatan Ning Lia sebagai langkah berani melawan arus politik yang formal dan eksklusif.
“Ning Lia sangat humble. Tidak gengsi untuk blusukan, bahkan ke tempat-tempat terpencil. Ini bukan pencitraan, tapi kesungguhan,” kata Nafi.
Keberhasilan Ning Lia dalam Pemilu bukan hanya tentang angka. Lebih dari itu, ia menghadirkan wajah baru dalam politik perwakilan, khususnya di DPD RI. Ia tidak menunggu aspirasi datang dalam bentuk laporan, melainkan menjemputnya langsung.
Mubarok, pengamat politik dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), menilai Ning Lia sebagai politisi yang menghadirkan praktik politik yang segar, kreatif, dan kontekstual.
“Ia membangun relasi politik yang lebih egaliter. Tak sekadar menyuarakan daerah dari kursi senator, tetapi juga mengaktifkan jalur komunikasi dua arah langsung dengan konstituen. Ini langkah yang tidak banyak dilakukan,” ujar Mubarok.
Dalam konteks DPD yang selama ini dianggap jauh dari rakyat, pendekatan seperti ini menjadi relevan dan penting. Ia menjadikan suara warga bukan sekadar data, tetapi titik pijak dalam memperjuangkan kebijakan.
Bagi Ning Lia, menjadi senator bukan tentang kekuasaan, tetapi tentang kepercayaan. Dan kepercayaan itu harus ditebus dengan kehadiran nyata dan kerja konkret.
“Suara rakyat itu amanah. Kalau tidak kita rawat dengan kerja nyata, maka kepercayaan akan hilang,” tegasnya.
Pendekatan personal dan egaliter ini menjadikan Ning Lia dekat dengan masyarakat akar rumput. Ia memilih berjalan kaki di gang-gang sempit daripada sekadar duduk di ruang rapat ber-AC. Baginya, membela rakyat tidak cukup dengan pidato, tetapi harus hadir, menyentuh, dan bergerak.
Ning Lia menjadi satu dari sedikit politisi perempuan yang mampu menyeimbangkan antara citra, kapasitas intelektual, dan empati sosial. Dengan gaya politik out of the box, ia memberi harapan bahwa politik tak harus kaku dan menakutkan, melainkan bisa dijalankan dengan cinta, semangat, dan rasa tanggung jawab.