SURABAYA, RadarBangsa.co.id – Industri pinjaman online atau fintech peer-to-peer (P2P) lending tengah menghadapi babak penting dalam sejarah perkembangannya di Indonesia. Menjelang pertengahan 2025, sektor ini dipaksa memasuki fase konsolidasi akibat aturan ketat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), khususnya terkait pemenuhan ekuitas minimum sebesar Rp12,5 miliar. Hingga saat ini, tercatat masih ada 14 dari 96 penyelenggara P2P lending yang belum memenuhi ketentuan tersebut.
Namun, di balik proses penataan ini, anggota DPD RI dari Jawa Timur, Lia Istifhama—akrab disapa Ning Lia menggarisbawahi bahwa penguatan aturan saja belum cukup untuk meredam risiko besar yang mengintai di balik maraknya bisnis pinjol.
Menurut Ning Lia, industri ini memiliki daya tarik ekonomi yang luar biasa. Ia bahkan mengutip penulis asal Prancis, Honoré de Balzac: “Di balik setiap kekayaan besar, sering tersembunyi kejahatan besar.” Kutipan tersebut dianggap relevan untuk menggambarkan praktik pinjol ilegal yang sering kali meraih untung besar tanpa modal besar maupun legalitas yang jelas.
“Banyak pelaku pinjol ilegal beroperasi tanpa kantor fisik, bahkan menggunakan server luar negeri. Ini menjadi ironi karena keuntungannya besar, tapi dampaknya sangat buruk bagi masyarakat,” kata Ning Lia.
Lebih lanjut, ia menilai OJK memang telah mendorong pergeseran fokus pinjol dari sektor konsumtif ke pembiayaan produktif, terutama untuk UMKM. Hingga April 2025, penyaluran pembiayaan produktif oleh industri P2P lending tercatat mencapai Rp28,63 triliun, atau sekitar 35 persen dari total pembiayaan. Pertumbuhan ini bahkan mendekati 36 persen secara tahunan dan membuka persaingan langsung dengan perusahaan multifinance.
Namun, di balik pertumbuhan tersebut, terdapat tantangan yang tak kalah serius. Salah satunya adalah peningkatan signifikan pada kredit bermasalah (non-performing loan/NPL), terutama dari kalangan badan usaha. Pada kuartal I/2025, angka NPL badan usaha mencapai Rp849,24 miliar, melonjak hampir 86 persen dibanding tahun sebelumnya.
Ning Lia menilai, tingginya angka ini bukan semata karena buruknya kelayakan usaha, tetapi juga karena banyak masyarakat memilih pinjaman ilegal akibat proses yang lebih mudah dan cepat ketimbang lembaga formal.
“Nyaris separuh dari pinjaman bermasalah ini bukan berasal dari perbankan atau pinjol legal, tapi dari entitas ilegal yang tak memiliki izin dan tak terdata OJK. Ini yang perlu jadi perhatian bersama,” tegasnya.
Isu pinjol ilegal sendiri masih menjadi momok besar di Indonesia. Korbannya bukan hanya pelaku usaha kecil, tetapi juga guru, ibu rumah tangga, karyawan, pelajar, dan masyarakat terdampak PHK yang terjebak karena keterbatasan akses ke layanan keuangan resmi. Lebih mengkhawatirkan, mereka sering dihadapkan pada praktik penagihan yang intimidatif, seperti teror dini hari, penyalahgunaan data pribadi, hingga pelanggaran berat terhadap privasi pengguna.
“Seringkali data mikrofon, lokasi, bahkan kontak pribadi disadap oleh oknum pinjol ilegal. Ini jelas melanggar Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi,” ujarnya.
Meski pemerintah telah menunjukkan komitmen serius, termasuk melalui Peta Jalan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI), tantangan lintas batas tetap menjadi batu sandungan. Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal sejauh ini telah menutup 6.055 pinjol ilegal dari total 7.502 entitas keuangan tak berizin, sebuah capaian yang juga didukung oleh hadirnya UU P2SK dengan sanksi pidana hingga 12 tahun bagi pihak yang menghalangi kerja OJK.
Di sisi lain, Ning Lia juga menyoroti pentingnya perlindungan konsumen dalam pinjol legal. Ia berharap OJK menegakkan aturan penagihan yang manusiawi, di antaranya pembatasan frekuensi penagihan maksimal tiga kali per hari, serta larangan menagih pada pihak ketiga yang tidak memiliki hubungan langsung dengan debitur.
“Aturan ini harus ditegakkan. Jangan sampai yang legal malah ikut mencederai masyarakat. Edukasi dan pengawasan harus berjalan seiring,” katanya.
Menutup pernyataannya, Ning Lia menekankan pentingnya kerja sama semua pihak—baik regulator, aparat, pemerintah daerah, hingga lembaga pendidikan—untuk memberantas pinjol ilegal secara sistematis.
“Kolaborasi adalah kunci. Jangan biarkan masyarakat terus jadi korban model bisnis yang manipulatif dan merusak. Pemerintah harus hadir, bukan hanya mengatur, tapi juga melindungi,” pungkasnya.
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin