SURABAYA, RadarBangsa.co.id – Gelombang kerusuhan akhir Agustus lalu menyisakan keprihatinan mendalam. Di balik kekacauan itu, sejumlah anak di bawah umur ternyata dimanfaatkan sebagai massa bayaran dan korban manipulasi. Fakta ini membuka kembali luka sosial dan menggugah pertanyaan besar: di mana peran pendidikan dan pengasuhan dalam membangun karakter generasi muda?
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengungkap fakta mengejutkan: banyak anak terjebak dalam aksi demonstrasi yang berujung anarkistis, bukan karena kesadaran politik, melainkan karena tipu daya orang dewasa. Dalam sebuah diskusi lintas lembaga bertajuk “Sinergi Antar Lembaga untuk Terlindunginya Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum”, Arifah menjelaskan bahwa sejumlah anak dibujuk dengan alasan palsu.
“Beberapa anak di Jawa Tengah diajak naik kendaraan dengan iming-iming menonton konser. Tapi mereka justru diturunkan di lokasi demo,” ujar Arifah, Selasa (4/11/2025). Fenomena ini, menurutnya, menunjukkan adanya bentuk eksploitasi baru terhadap anak di ruang publik mereka dijadikan alat kepentingan kelompok tertentu yang ingin menciptakan kekacauan.
Tragedi serupa juga terjadi di berbagai daerah. Di Cirebon, beberapa anak mengaku hanya ingin menonton keramaian, namun kemudian diminta melakukan penjarahan oleh orang tak dikenal. Salah seorang bahkan dipaksa membawa barang dari gedung yang terbakar. “Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka hanya korban,” kata Arifah menegaskan.
Aksi kerusuhan yang memuncak di Surabaya pada 30 September lalu memperparah situasi. Gedung Negara Grahadi, salah satu ikon sejarah Jawa Timur, dibakar massa. Sejumlah video viral di media sosial memperlihatkan sosok misterius berjaket ojek online yang menyalakan obor di lokasi kejadian, menimbulkan dugaan adanya provokator yang sengaja memanfaatkan momentum untuk memicu kerusuhan.
Investigasi digital juga menyingkap adanya pola provokasi daring. Aktivis media sosial Ferry Irwandi mempublikasikan beberapa akun di platform X (Twitter) yang diduga menyebar ajakan anarkistis. Polisi pun bergerak cepat dengan menetapkan seorang tersangka, Delpedro Marhaen, atas dugaan penghasutan yang memicu kekerasan massal.
Namun bagi Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama, akar masalahnya lebih dalam dari sekadar provokasi digital. Menurutnya, keterlibatan anak-anak dalam aksi kekerasan mencerminkan krisis nilai dan lemahnya sistem pendidikan karakter di Indonesia. “Jika anak-anak mudah terbakar emosi atau termakan hoaks, berarti pendidikan kita belum cukup menanamkan moral dan rasa damai,” ujarnya.
Lia menilai, penguatan pendidikan moral harus dimulai dari sekolah dan keluarga. Ia mendukung langkah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah yang mulai meringankan beban administratif guru agar pendidik bisa lebih fokus membimbing karakter anak. “Guru bukan sekadar pengajar, tapi orang tua kedua. Mereka punya peran penting menanamkan nilai kemanusiaan sejak dini,” kata Lia.
Kasus anak-anak yang dimobilisasi dalam kerusuhan menjadi alarm sosial yang tak boleh diabaikan. Negara, lembaga pendidikan, dan masyarakat perlu bersinergi memperkuat pendidikan berbasis nilai dan pengasuhan yang manusiawi. “Mendidik anak bukan hanya soal akademik, tapi soal menumbuhkan moral dan rasa cinta damai,” tegas Lia Istifhama.
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin









