GUNUNGKIDUL, RadarBangsa.co.id – Proses hukum terkait dugaan penyalahgunaan tanah kas desa (TKD) di Kalurahan Sampang, Gedangsari, Gunungkidul, terus berlanjut. Setelah menyeret mantan lurah nonaktif Suharman, kini giliran Direktur Utama PT Pueser Bumi Sejahtera (PBS), Turisti Hindriya, yang menjadi sorotan. Ia resmi ditetapkan sebagai terdakwa dalam perkara dugaan penambangan ilegal dan kini menghadapi tuntutan lima tahun penjara.
“Kasus ini bermula dari penggunaan tanah kas desa untuk kegiatan penambangan tanpa izin yang terindikasi berkaitan dengan proyek Tol Yogya–Solo,” ujar Kasi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Gunungkidul, Alfian Listya Kurniawan, kepada RadarBangsa, Selasa (8/7/2025).
Dalam proses penyidikan, ditemukan adanya dugaan aliran dana sebesar Rp62,5 juta dari pihak perusahaan ke Lurah nonaktif Suharman. Transaksi tersebut memunculkan indikasi praktik suap dalam pengelolaan lahan desa.
“Kami menemukan bukti cukup terkait aliran dana yang diduga kuat sebagai bentuk gratifikasi,” tegas Alfian.
Turisti telah ditetapkan sebagai tersangka sejak Desember 2024. Upaya hukum untuk menggugurkan status tersangkanya melalui praperadilan ditolak oleh Pengadilan Negeri Wonosari. Berkas perkara dinyatakan lengkap (P21) pada 24 Februari 2025. Ia sempat mangkir dari pemanggilan pertama dengan alasan kesehatan, lalu memenuhi panggilan kedua pada 6 Maret dan langsung ditahan di Lapas Kelas IIA Wirogunan.
“Penahanan dilakukan demi kelancaran proses penuntutan dan mencegah potensi gangguan pada pembuktian,” ungkap Alfian.
Kini, perkara tersebut telah memasuki tahap persidangan di Pengadilan Tipikor Yogyakarta. Dalam agenda sidang terbaru, jaksa penuntut umum membacakan tuntutan terhadap Turisti Hindriya. Ia dituntut hukuman penjara lima tahun serta denda sebesar Rp200 juta, subsider enam bulan kurungan.
“Dalam tuntutan kami, terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan suap sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU Tipikor dan pasal 5 ayat (1) huruf a,” jelas Alfian.
Selain hukuman pokok, jaksa juga menuntut terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp506.071.676. Jika tidak dibayarkan dalam waktu satu bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap, maka jaksa berhak menyita dan melelang harta terdakwa. Jika tidak mencukupi, jaksa meminta pengadilan menjatuhkan tambahan hukuman dua tahun enam bulan penjara.
“Ini bentuk keseriusan aparat dalam menindak segala bentuk penyimpangan yang melibatkan aset desa dan kepentingan masyarakat luas,” lanjut Alfian.
Kasus ini memicu perhatian publik, terutama di Gunungkidul, di mana pengelolaan aset desa menjadi isu sensitif. Warga berharap kasus ini dapat menjadi peringatan bagi pemerintah desa agar tidak sembarangan dalam mengelola tanah kas yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
“Jangan sampai aset desa justru dijadikan komoditas bisnis oleh oknum yang punya akses ke pemerintahan desa,” ujar seorang warga Sampang yang tak ingin namanya disebut.
Penulis : Paiman
Editor : Zainul Arifin