SURABAYA, RadarBangsa.co.id – Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 Hijriah dipandang sebagai momen refleksi bagi perjalanan bangsa Indonesia. Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Lia Istifhama atau akrab disapa Ning Lia, menilai peringatan kelahiran Rasulullah seyogianya dimaknai lebih dari sekadar perayaan, melainkan teladan membangun peradaban dengan akhlak dan visi keberlangsungan umat.
“Ketika Nabi menghadapi penindasan Quraisy, beliau tidak pernah mengedepankan kekerasan sebagai jalan utama. Bahkan Perang Badar, Uhud, hingga Khandaq, semuanya bersifat defensif, untuk menjaga marwah umat Islam. Tawanan perang pun diperlakukan dengan perikemanusiaan. Inilah teladan besar bahwa perjuangan kebenaran harus diiringi akhlak mulia, bukan kebrutalan,” kata Ning Lia dalam keterangannya.
Menurut putri KH Maskur Hasyim tersebut, nilai perjuangan Nabi juga tercermin dalam sejarah bangsa Indonesia. Para pendiri bangsa, seperti KH Hasyim Asy’ari, Bung Karno, hingga Jenderal Sudirman, menjadikan moral dan spiritual sebagai energi perjuangan.
“Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 adalah contohnya. Ulama dan santri tidak sekadar mengangkat senjata, tetapi juga mengangkat moral bangsa untuk tidak tunduk pada penjajahan. Ini sejalan dengan misi Rasulullah: membebaskan manusia dari penindasan tanpa kehilangan martabat sebagai manusia beradab,” jelasnya.
Ia mengingatkan, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 pun lahir dari kesadaran kolektif yang dipupuk lewat musyawarah dan gotong royong, bukan kekerasan. “Piagam Jakarta dan Pancasila lahir dari musyawarah, bukan paksaan. Itu adalah jejak peradaban Nabi Muhammad yang dihidupkan dalam konteks kebangsaan kita,” tambahnya.
Refleksi ini, kata Ning Lia, semakin relevan di tengah tragedi kerusuhan yang baru-baru ini melanda sejumlah daerah. Ia menyoroti perusakan gedung bersejarah, termasuk Gedung Negara Grahadi di Surabaya. “Ini bukan sekadar kehilangan bangunan, melainkan kehilangan memori kolektif bangsa. Sama halnya ketika kaum Quraisy mencoba merusak Ka’bah, itu bukan sekadar menghancurkan batu, tapi simbol persatuan umat,” ujarnya.
Yang lebih memprihatinkan, lanjutnya, adalah keterlibatan anak di bawah umur dalam aksi-aksi destruktif. “Betapa mirisnya jika anak-anak yang mestinya tumbuh menjadi penerus bangsa justru dijadikan pion kerusuhan. Padahal Nabi bersabda *al-syabāb ‘imād al-ummah* (pemuda adalah tiang umat). Kalau tiangnya dirusak sejak dini, bagaimana bangunan bangsa ini akan kokoh?” tegasnya.
Di sisi lain, ia menekankan pentingnya memperkuat pendidikan sebagai benteng utama bangsa. Menurutnya, guru harus diberdayakan agar fokus mendidik karakter, bukan dibebani administrasi berlebihan. “Kalau kita ingin anak-anak kebal dari provokasi, biarkan guru fokus membangun hubungan interpersonal dengan murid. Pendidikan Nabi adalah contoh: beliau tidak sekadar menyampaikan wahyu, tetapi membentuk karakter sahabat dengan kasih sayang,” ujarnya.
Ning Lia juga menyinggung dampak pendidikan daring saat pandemi yang membuat anak-anak kehilangan interaksi langsung, sehingga lebih rentan terhadap disinformasi. Karena itu, ia menilai Maulid Nabi menjadi momentum untuk memperkuat pendidikan humanis yang menyentuh akal, hati, dan moral sekaligus.
“Jika Nabi Muhammad mampu mengubah masyarakat jahiliyah menjadi umat terbaik hanya dalam 23 tahun, bangsa Indonesia pun bisa keluar dari krisis moral dan sosial. Syaratnya adalah menempatkan ilmu, akhlak, dan kasih sayang sebagai senjata utama. Inilah senjata yang lebih kuat daripada kekerasan apa pun,” pungkas Ning Lia.
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin









