SURABAYA, RadarBangsa.co.id – Persoalan royalti lagu kembali mencuat ke ruang publik. Kali ini, perhatian tertuju pada jaringan waralaba kuliner ternama, Mie Gacoan, setelah salah satu gerainya di Jalan Teuku Umar, Denpasar, dilaporkan memutar sejumlah lagu tanpa izin. Lagu-lagu tersebut antara lain Tak Selalu Memiliki (Lyodra), Begini Begitu (Maliq & D’Essentials), Hapus Aku (Giring Nidji), Kupu-Kupu (Tiara Andini), dan Satu Bulan (Bernadya).
Laporan dilayangkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI), yang menyebut bahwa pemutaran lagu tersebut telah berlangsung sejak 2022.
Akibat laporan tersebut, Direktur PT Mitra Bali Sukses selaku pemegang lisensi Mie Gacoan di Bali, I Gusti Ayu Sasih Ira, ditetapkan sebagai tersangka. Tunggakan pembayaran royalti yang dipersoalkan bahkan disebut-sebut mencapai nilai miliaran rupiah.
Perkara ini pun menjadi perhatian luas, termasuk dari kalangan legislatif. Salah satunya datang dari anggota DPD RI, Lia Istifhama. Senator muda yang juga dikenal sebagai aktivis seni ini menyoroti pentingnya kejelasan dalam implementasi regulasi hak cipta agar tidak merugikan masyarakat.
“Kebetulan saya tumbuh dalam lingkungan seni. Sebelum masuk dunia politik, saya kerap mengisi acara-acara festival rakyat di berbagai kabupaten dan kota dengan konsep seni lokal. Musik bagi saya adalah alat untuk menyapa masyarakat, memperkuat nilai budaya. Namun ketika sekarang justru musik menjadi polemik, saya khawatir akan muncul ketakutan untuk memutar atau menyanyikan lagu-lagu lokal,” kata Lia saat reses pada 28 Juli.
Ia menekankan bahwa apresiasi terhadap karya pencipta lagu memang penting, namun jangan sampai menghalangi masyarakat untuk menikmati musik, terutama musik lokal.
“Kalau sudah masuk ke platform digital seperti YouTube, semestinya sudah ada sistem aggregator atau pengelola digital yang bisa mendistribusikan pendapatan kepada pencipta lagu secara akurat, sesuai durasi pemutaran,” ujarnya.
Lia juga menyarankan bahwa jika sistem digital belum mampu memberi kejelasan dalam perhitungan royalti, maka pendekatan konvensional seperti penjualan kaset atau CD bisa dipertimbangkan kembali.
“Atau paling tidak, setiap lagu dilengkapi tautan atau kontak resmi yang bisa dihubungi jika masyarakat ingin memperdengarkan atau membawakan lagu tersebut di acara tertentu. Jangan sampai ketidaktahuan masyarakat justru berujung pidana,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan agar tidak semua bentuk pemutaran lagu dikategorikan sebagai aktivitas komersial.
“Misalnya dalam acara komunitas atau pesta rakyat yang bersifat non-profit, sebaiknya dinilai sebagai upaya pelestarian budaya, bukan komersialisasi. Jika masih belum jelas mana lagu yang berada di bawah naungan LMK tertentu, sebaiknya publikasi daftar lagu tersebut dibuka agar masyarakat tahu konsekuensinya,” jelasnya.
Lia juga mengkritisi distribusi royalti yang dinilai belum efektif menyejahterakan para pencipta lagu karena banyaknya pihak yang terlibat dalam prosesnya.
“Perlu dibedakan mana kegiatan yang menjadikan musik sebagai sumber pendapatan, dan mana yang tidak. Konser berbayar tentu berbeda dengan konser amal atau pertunjukan budaya rakyat. Jangan sampai semua dipukul rata,” ungkapnya.
Menutup pernyataannya, Lia berharap agar aparat penegak hukum tidak memberlakukan sanksi secara kaku, khususnya terhadap musisi jalanan atau pengamen.
“Bagi saya, pengamen yang menyuarakan lagu-lagu favorit masyarakat dengan suara mereka jauh lebih terhormat dibanding mereka yang mencari uang melalui cara yang melanggar hukum,” pungkasnya.
Sebagai informasi, melalui laman resminya, SELMI merinci tarif lisensi royalti untuk berbagai aktivitas komersial, antara lain:
Seminar dan konferensi komersial: Rp 500.000 per hari dikali jumlah layar
Restoran dan kafe: Rp 120.000 per kursi per tahun
Pub, bar, dan bistro: Rp 360.000 per meter persegi per tahun
Diskotik dan klub malam: Rp 430.000 per meter persegi per tahun
Konser berbayar: 2 persen dari jumlah tiket terjual ditambah 1 persen dari tiket gratis
Konser tidak berbayar: 2 persen dari biaya produksi musik, termasuk sewa panggung, honor artis, lighting, dan sound system
Pameran dan bazar: Rp 1.500.000 per hari
Bioskop: Rp 3.600.000 per layar
Karaoke keluarga: Rp 3.600.000 per ruang per tahun
Karaoke eksekutif: Rp 15.000.000 per ruang per tahun
Karaoke hall: Rp 6.000.000 per ruang per tahun
Karaoke kubus (box): Rp 600.000 per ruang per tahun
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin