SEMARANG, RadarBangsa.co.id – “Duuulll!” Begitu suara yang akrab di telinga masyarakat Semarang saat tradisi Nyumet Mercon di Masjid Agung Semarang digelar. Tradisi tahunan ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga memiliki sejarah panjang yang unik.
Sore itu, derap langkah pasukan berpakaian adat terdengar di sekitar Masjid Agung Semarang, Kelurahan Bangunharjo, Kecamatan Semarang Tengah. Sambil melantunkan qasidah, mereka membawa tongkat dan banner bertuliskan “Marhaban Ya Ramadan!”. Pawai ini berjalan dari masjid menuju Aloon-aloon Semarang, menarik perhatian warga yang tengah menunggu waktu berbuka puasa.
Pengunjung yang awalnya sibuk membeli takjil langsung beralih memperhatikan arak-arakan meriah tersebut. Sesampainya di Aloon-aloon, peserta mencari tempat untuk menancapkan kembang api yang mereka bawa dari Masjid Agung. Saat sirine masjid berbunyi, kembang api dinyalakan, diikuti dengan berkumandangnya azan magrib.
Langit jingga sore itu pun dipenuhi warna-warni kembang api, menandai waktu berbuka dengan suasana yang semakin semarak.
Sejarah Panjang Nyumet Mercon
Pengurus Masjid Agung Semarang, Choirul Ichan, mengatakan bahwa tradisi ini memiliki akar sejarah yang panjang dan terus dilestarikan hingga kini.
“Untuk tradisi nyumetnya, dari masjid jalan diarak dengan pakaian adat. Ada sekitar 20 orang berpakaian adat yang mengiringi prosesi ini,” katanya di Aloon-aloon Semarang, Minggu (9/3/2025).
Ia menyampaikan bahwa arak-arakan hanya dilakukan setiap Sabtu dan Minggu selama Ramadan, sementara pada hari biasa, penyalaan mercon tetap berlangsung tanpa prosesi pawai.
“Yang menarik itu arak-arakannya, karena pakai pakaian adat. Yang ikut banyak, ada pengurus, santri pondok pesantren, serta pihak yang berpartisipasi di Masjid Agung Semarang,” tambahnya.
Tradisi ini berlangsung setiap sore menjelang berbuka, biasanya dimulai pukul 17.30 WIB. Menurut Ichan, tradisi ini dulunya menggunakan bom udara sebagai tanda berbuka puasa.
“Dulunya pakai bom udara. Tapi sejak Perwali tahun 1983, penggunaan bom udara dilarang karena dianggap membahayakan. Akhirnya, sebagai pengganti, dibangun menara dengan sirine sebagai tanda berbuka,” jelasnya.
Seiring waktu, sirine kemudian dipadukan dengan kembang api. Namun, saat pandemi, konsep ini berkembang menjadi arak-arakan mercon dari Masjid Agung menuju Aloon-aloon Semarang.
“Konsep ini muncul saat pandemi, ketika banyak kegiatan terhenti. Kami ingin membangkitkan kembali semangat Ramadan di Semarang,” tuturnya.
Sejarah tradisi ini juga tidak terlepas dari peran Raden Tumenggung Aryo Purboningrat, Bupati Semarang pada masanya, yang kantornya dahulu berada di Kanjengan, selatan Aloon-aloon Semarang.
“Dulu pencetusnya adalah Raden Tumenggung, Bupati Semarang. Dari sanalah tradisi ini berkembang hingga sekarang,” tambahnya.
Dengan inovasi ini, tradisi Nyumet Mercon semakin menarik perhatian masyarakat. Selain menjadi penanda waktu berbuka puasa, tradisi ini juga menjadi bagian dari upaya pelestarian budaya dan sejarah lokal.
“Kami menggali kembali sejarah dan melakukannya dengan cara yang lebih modern,” tutupnya.
Penulis : Welly/ Nanik
Editor : Bandi