LAMONGAN, RadarBangsa.co.id – Dugaan praktik mafia tanah kembali mencuat di Lamongan. Sebanyak 15 sertifikat milik warga Desa Dadapan, Kecamatan Solokuro, diduga berpindah tangan secara ilegal tanpa sepengetahuan pemilik aslinya.
Kasus ini resmi dilaporkan ke Polres Lamongan pada Jumat, (8/8/2025), oleh warga yang didampingi penasihat hukum mereka, Naning Erna Susanti. Laporan dilayangkan setelah warga mendapati tanah warisan mereka telah bersertifikat atas nama orang lain.
Permasalahan mulai terungkap saat warga mengajukan kepemilikan tanah melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) tahun 2023. Namun alih-alih mendapatkan sertifikat, mereka justru diberi kabar mengejutkan.
“Panitia menyatakan tanah milik warga masuk kategori K4, padahal seluruh persyaratan dan biaya sudah dipenuhi sesuai ketentuan,” ujar Naning, kepada wartawan.
Ia menjelaskan, warga membayar biaya administrasi pendaftaran antara Rp500 ribu hingga Rp750 ribu, tergantung luas bidang tanah. Namun setelah muncul status bermasalah, seluruh dokumen dan dana dikembalikan tanpa penjelasan memadai.
Yang lebih mengejutkan, kata Naning, adalah ketika warga mengetahui bahwa tanah yang diajukan dalam program PTSL ternyata sudah memiliki sertifikat—namun atas nama pihak lain.
“Kami menduga ada proses yang tidak wajar. Warga sama sekali tidak pernah menjual tanah itu,” ujarnya.
Salah satu pelapor, Mudzakir, menuturkan bahwa awal mula persoalan ini terjadi lebih dari satu dekade lalu. Sekelompok orang sempat datang ke desa menawarkan pembelian lahan milik warga sekitar tahun 2013, namun ditolak karena sebagian besar tanah tersebut merupakan warisan keluarga.
“Tidak ada yang menjual tanahnya. Ini warisan orang tua kami. Tapi tiba-tiba, pada 2017 atau 2018, sertifikat atas nama orang lain muncul,” jelas Mudzakir.
Ia dan warga lain baru mengetahui peralihan nama sertifikat itu saat mengikuti program PTSL pada 2023. Fakta tersebut menimbulkan kecurigaan akan adanya praktik penyalahgunaan kewenangan yang melibatkan oknum aparat desa di masa lalu.
“Sertifikat tidak mungkin terbit tanpa tanda tangan dan rekomendasi kepala desa. Kami menduga ada peran perangkat desa sebelumnya,” tambahnya.
Akibat kejadian ini, sekitar dua hektare lahan yang merupakan hak milik warga kini telah berpindah kepemilikan. Kasus ini menambah daftar panjang persoalan agraria di tingkat desa yang masih kerap menyisakan persoalan hukum dan sosial.
Pihak Pemerintah Desa Dadapan menyatakan siap bekerja sama untuk mengungkap kebenaran. “Kami terbuka untuk membantu proses penyelidikan. Data administrasi desa juga siap kami serahkan jika dibutuhkan,” ujar salah satu pejabat desa saat dikonfirmasi.
Warga kini berharap pihak kepolisian, kejaksaan, hingga Kementerian ATR/BPN turun tangan secara serius. Mereka mendesak agar dugaan praktik mafia tanah ini tidak berhenti pada permukaan.
“Kalau tidak ditangani serius, akan banyak warga desa yang menjadi korban seperti kami,” tegas Naning.
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin