SURABAYA, RadarBangsa.co.id – Di tengah gempuran media sosial yang kerap menuntut orang untuk berpikir positif atau selalu tampak baik-baik saja, anggota DPD RI Lia Istifhama mengajak masyarakat—terutama generasi muda untuk menumbuhkan pola pikir yang lebih reflektif dan kritis.
Menurut perempuan yang akrab disapa Ning Lia ini, banyak orang justru salah kaprah dalam memaknai “berpikir positif”. Alih-alih menjadi pribadi yang dewasa dalam menghadapi masalah, sebagian malah terjebak dalam toxic positivity, yakni sikap menolak kritik dan berpura-pura bahwa semuanya selalu baik-baik saja.
“Berpikir positif yang sejati bukan berarti menolak kenyataan. Tapi kita belajar menerima apa pun yang terjadi, beradaptasi, dan melihat kekurangan sebagai hal yang perlu diperbaiki,” ujar Ning Lia.
Sebaliknya, lanjutnya, toxic positivity justru memaksa individu untuk selalu tampak sempurna, seolah-olah tidak boleh sedih atau mengalami kegagalan.
“Padahal kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Kita manusia harus sadar dan mau belajar dari kekurangan,” tegasnya.
Ning Lia mendorong masyarakat, khususnya generasi muda, untuk berani mengenali kelemahan diri sekaligus menggali potensi yang dimiliki.
“Dengan begitu, kita bisa menyusun strategi ‘how to be better’ untuk menjadi lebih baik. Kita bisa memaksimalkan potensi untuk menutupi kekurangan,” tambahnya.
Menariknya, Ning Lia mengaitkan pandangannya ini dengan pemikiran filsuf Jürgen Habermas. Habermas memperkenalkan konsep lifeworld atau ruang kehidupan sehari-hari, tempat individu berinteraksi berdasarkan nilai, norma, dan pengalaman bersama.
“Kalau kita hanya saling memaksa senyum palsu dan menolak kritik, artinya kita menutup ruang dialog yang jujur. Padahal demokrasi yang sehat perlu percakapan terbuka, bukan sekadar kata-kata manis,” jelasnya.
Lebih lanjut, Ning Lia menyinggung konsep emancipatory knowledge interest dari Habermas, yakni hasrat manusia untuk membebaskan diri dari dominasi, ilusi, dan kesadaran palsu. Menurutnya, sikap kritis terhadap budaya toxic positivity adalah bagian dari proses pembebasan tersebut.
“Masyarakat berhak mengakui luka sosial, membicarakannya, lalu bersama-sama mencari solusi. Optimisme itu penting, tapi harus berbasis refleksi, bukan ilusi,” tegas Ning Lia.
Senator asal Jawa Timur ini juga menyampaikan bahwa sikap kritis seperti itu sejalan dengan nilai-nilai spiritualitas. Menyadari keterbatasan manusia, kata dia, adalah bentuk ketakwaan.
“Kesempurnaan itu milik Tuhan. Kita dituntut untuk terus belajar, memperbaiki diri, dan hidup dengan kejujuran batin,” ucapnya.
Ning Lia pun menekankan, memaksa semua orang untuk selalu tampak bahagia justru bisa menjadi bentuk manipulasi sosial.
“Yang kita perlukan adalah keotentikan kemauan untuk jujur pada diri sendiri, saling mendengar, dan tumbuh bersama. Dengan begitu, kita membangun masyarakat yang lebih dewasa secara emosional dan lebih beradab secara moral,” pungkasnya.
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin