JEMBER, RadarBangsa.co.id – Sebanyak 15 orang dari Perkumpulan Disabilitas bersama Wakil Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Kediri, Drs. H. Lutfi Mahmudiyono, selama dua hari, Kamis – Jum’at, 27 – 28 Januari 2022, melakukan study banding ke Jember.
Menurut Wakil Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Kediri, Drs. H. Lutfi Mahmudiyono, study banding tersebut dimaksudkan untuk mematangkan Ranperda Disabilitas di Kabupaten Kediri, sebelum dilakukan pansus guna membahas menjadi Perda (Peraturan Daerah).
“Studi banding ke Jember ini untuk belajar dan mematangkan sebelum membahas dalam Pansus Raperda Disabilitas di Kabupaten Kediri. Karena sekarang kita belum punya, sehingga kemarin kami dari Partai NasDem mengusulkan untuk buatkan Perda Disabilitas,” ungkap anggota dewan dari Dapil Kabupaten Kediri 4 yang akrab disapa Pak Lutfi ini.
Ketua DPD Partai NasDem Kabupaten Kediri ini juga memastikan bahwa DPRD Kabupaten Kediri sudah sepakat memasukkan Raperda Disabilitas dalam agenda program pembentukan Peraturan Daerah tahun 2022.
“Kami akan terus kawal supaya segera dibentuk Pansus, dan Perda-nya sampai di-paripurnakan sah menjadi Perda,” tegas pria yang juga Ketua DPD NasDem Kabupaten Kediri itu.
Sedangkan, Ketua Perkumpulan Disabilitas Kabupaten Kediri, Umi Salamah, mengaku tujuan studi banding supaya dapat berbagi pemikiran dengan sesama difabel.
“Kami ingin tahu perjuangan teman-teman di Jember membuat Perda, dan bagaimana mengimplementasikannya. Semangat yang terpenting dari disabilitas sendiri untuk mengubah kemandirian,” ucap Umi.
Sementara itu, sejumlah tokoh politik yang berperan dalam pengesahan Peraturan Daerah Jember Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas menyampaikan cerita kronologi beleid tersebut.
Sekretaris Komisi B DPRD Jember, David Handoko Seto, dan mantan Ketua DPRD Jember, Thoif Zamroni yang berkesempatan membagi kisah perjalanan menyusun beleid untuk kepentingan kaum penyandang difabel.
Menurut David, beberapa tahun lalu inisiatif awal membuat Perda Disabilitas memang murni berasal dari keinginan kaum difabel sendiri. DPRD yang kemudian menindaklanjuti usulan mereka.
“Mas Antok, Mas Kusbandono, dan kawan-kawan datang ke DPRD sudah punya bahan matang berupa draft naskah akademik. Sungguh-sungguh niatnya ingin punya Perda Disabilitas,” kenang legislator ini.
Lebih lanjut David menjelaskan, beberapa masalah yang dihadapi difabel Jember terungkap dalam forum tersebut. Seperti problem tidak sesuainya antara isi peraturan dengan kenyataan.
Misalkan, lanjut David, jelas diamanahkan ada kuota pekerja bagi difabel yang direkrut oleh perusahaan swasta maupun pemerintah. Tapi, difabel yang diterima bekerja justru ditempatkan dalam pos pekerjaan yang sulit dilakukan.
“Ada minimarket pekerjakan difabel di pergudangan untuk angkut-angkut, dan PNS difabel yang basic-nya guru dan harus jalan pakai tongkat oleh Bupati Jember, masih dijabat Faida, malah dijadikan Satpol PP. Yang seperti itu butuh pengawalan supaya Perda tidak jadi macan kertas,” ulas David.
Beberapa kali digelar rapat dengar pendapat (RDP) untuk menggalang dukungan politik akhirnya seluruh fraksi menyepakati draft Raperda masuk dalam program legislasi daerah.
“Walaupun secara tertulis untuk kepentingan administrasi tertera sebagai Perda inisiasi Fraksi NasDem,” ujar David.
Sedangkan mantan Ketua DPRD Jember, Thoif Zamroni menerangkan, proses pembahasan Raperda Disabilitas di Jember kemarin tidaklah sepenuhnya berjalan mulus. DPRD mendapatkan materi naskah akademik dari Lembaga Penelitian Universitas Jember (Unej) yang justru berbeda dibandingkan dengan usulan kaum difabel semula.
“Saya Ketua Pansus, DPRD bekerjasama dengan Lemlit Unej, dan kami sampaikan untuk mengakomodasi difabel. Tapi, lama penyerahan naskah akademik, lalu kami dihubungi ternyata difabel tidak dilibatkan. Sampai ramai ada berita masalah plagiat, hampir tiap hari DPRD digeruduk difabel,” terang Thoif.
Beliau juga mengingat, konflik difabel dengan Lemlit Unej dimediasi oleh Nurul Ghufron, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika masih menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum.
Kesepakatan pun diraih dengan komitmen merubah total naskah akademik buatan Lemlit Unej, meski sudah menelan biaya sekitar Rp300 juta. Tujuannya untuk mengakomodasi seluruh pemikiran dari sejumlah organisasi difabel yang sejak awal menjadi inisiator.
Disamping itu, Thoif mengijinkan perwakilan difabel ikut dalam setiap rapat pembahasan yang semestinya hanya berisi anggota dewan. Hal demikian baru terjadi sepanjang sejarah legislasi daerah.
“Sungguh kenangan yang tidak terlupakan. Bahkan, kala itu ada 8 Raperda, sebanyak 7 Perda selesai, tapi Raperda Disabilitas belum selesai saking dinamisnya, teman-teman difabel ikut bahas pasal per pasal. Setelah selesai, saya serahkan sendiri ke Ibu Khofifah Indar Parawansa saat menjabat Menteri Sosial. Saya katakan: Ini Bu, Perda Disabilitas pertama di Indonesia,” urai Thoif.