LAMONGAN , RadarBangsa.co.id — Dugaan pelanggaran perizinan kembali mencuat di Kabupaten Lamongan. PT Rexline Engineering Indonesia (REI), perusahaan yang bergerak di bidang pabrikasi berat (heavy fabrication), disebut telah beroperasi selama dua tahun tanpa mengantongi izin lingkungan dan bangunan yang seharusnya menjadi syarat utama kegiatan industri.
Perusahaan yang berlokasi di KM 10 Jalan Raya Mantub, Desa Takeranklanting, Kecamatan Tikung, ini menjadi sorotan karena aktivitas produksinya berjalan meski tidak memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), UKL-UPL (Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan), maupun Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Warga sekitar pun mulai mempertanyakan legalitas aktivitas perusahaan tersebut.
Kepala Bidang Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Lamongan, Inganatul Muhimmah, membenarkan adanya aktivitas produksi PT REI. Ia menyebutkan bahwa DLH sudah melakukan pengawasan serta menerbitkan surat evaluasi tertanggal 22 Oktober 2024. Namun, hingga kini persetujuan lingkungan belum terbit.
“Iya, kegiatan tersebut memang sudah operasional. Saat ini perusahaan baru mengantongi SPPL (Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup). Tetapi lingkup pengembangan mereka sudah masuk kategori UKL-UPL yang wajib mendapat persetujuan lingkungan,” ujarnya, Rabu (24/9/2025).
Hima, sapaan akrabnya, yang juga menjabat Plt. Kabid Pengendalian Kerusakan Lingkungan, menegaskan bahwa status SPPL seharusnya hanya berlaku bagi kegiatan usaha dengan risiko rendah. Sementara itu, aktivitas pabrikasi berat yang dilakukan PT REI dinilai berpotensi menimbulkan dampak signifikan, sehingga wajib dilengkapi dokumen UKL-UPL atau bahkan Amdal.
Permasalahan izin tidak hanya terkait lingkungan. Dari sisi tata ruang dan bangunan, PT REI juga belum sepenuhnya memenuhi aturan. Sekretaris Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, dan Cipta Karya (Perkim) Kabupaten Lamongan, Sefriana Mira Haslinda, mengonfirmasi bahwa izin PBG untuk area pengembangan perusahaan masih bermasalah.
“Untuk perizinan PBG bagian selatan, pengembangannya belum menyesuaikan tata ruang. Kalau sudah diajukan, penyelesaiannya cepat. Tetapi pada 20 Agustus 2024, di bagian utara sudah ada tiga bangunan termasuk kantor,” jelasnya.
Kondisi ini memperlihatkan adanya ketimpangan antara pembangunan fisik yang terus berjalan dengan kepatuhan terhadap regulasi. Padahal, aturan perizinan lingkungan dan bangunan dibuat untuk memastikan keberlanjutan usaha tanpa menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat maupun lingkungan sekitar.
Sementara itu, pihak perusahaan memberikan tanggapan berbeda. Human Resources Department (HRD) sekaligus bagian legal PT Rexline Engineering Indonesia, Fariz, menyatakan bahwa izin pada dasarnya sudah ada, hanya perlu disesuaikan seiring perluasan lahan dan pengembangan usaha.
“Untuk bangunan kami sudah ada perizinannya. Untuk lingkungan juga ada, hanya saja seiring dengan bertambahnya luasan, ada beberapa yang perlu di-update sesuai konfirmasi dari dinas terkait,” katanya singkat.
Kasus ini menjadi cermin persoalan kepatuhan regulasi yang kerap dihadapi daerah dengan geliat industri tinggi. Pertumbuhan sektor pabrikasi memang menjanjikan peluang investasi dan lapangan kerja, namun tanpa kepastian izin lengkap, keberlanjutan usaha bisa terganggu. Bagi masyarakat sekitar, kepatuhan hukum juga berarti jaminan bahwa lingkungan tetap terjaga dan tata ruang wilayah tidak dilanggar.
Dugaan operasional tanpa izin lengkap ini pun masih terus mendapat perhatian dari berbagai pihak, terutama karena menyangkut kepastian hukum serta komitmen perusahaan dalam menaati regulasi yang berlaku. “Lingkup pengembangan sudah masuk kategori wajib persetujuan lingkungan, jadi perlu segera ditindaklanjuti,” tegas Hima.
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin










